Sunni yang Sunni
|
||
Sanggahan terhadap Dialog 75-76Dalam Dialog 75, Syeikh al-Bisyri menyatakan bahwa 'A'isyah tidak terpengaruh oleh dorongan emosinya ketika ia menegasikan wasiat Nabi kepada 'Ali sebagaimana yang dituduhkan al-Musawi kepadanya. Tetapi Syeikh al-Bisyri tidak menolak tuduhan itu sebagaimana mestinya. Kami tidak mengerti, apakah Syeikh tidak mengemukakan penolakan itu, lantaran bodoh dan tidak mengetahui cara-cara penolakan yang lazim terhadap tuduhan semacam itu, ataukah karena ia segan dan malu pada al-Musawi dan keilmuannya yang dibangun atas dasar-dasar yang bathil dan keyakinan yang rusak? Atau ia tidak menjawabnya karena mengakui dari memperkuat tuduhan al-Musawi? Jika demikian, maka adanya penyanggahan al-Musawi (terhadap pernyataan 'A'isyah bahwa Nabi saw meninggal dunia di atas dadanya) dikemukakan al-Musawi karena permintaan (dari Syeikh al-Bisyri) agar diberi keterangan dan penjelasan tentang masalah itu. Demikianlah al-Musawi menampakkannya dalam dialog-dialognya. Coba anda perhatikan, tentu anda akan menemukan hal ini. Karena itu, pada Dialog 76, al-Musawi segera memperkuat tuduhannya terhadap 'A'isyah, dengan dalil-dalil palsu. Dan Syeikh al-Bisyri tidak berbuat apa-apa dalam dialog berikutnya kecuali menerima saja apa yang dikemukakan al-Musawi. Untuk itu kami mesti memberikan tanggapan atas dalil-dalil al-Musawi itu, dengan pertolongan kepada Allah SWT: 1. Al-Musawi telah menuduh 'A'isyah, Ummul Mu'minin, dan istri Nabi yang paling dicintainya, sebagai telah menentang wasiat Nabi kepada 'Ali, untuk menjadi imam setelah Nabi. karena telah takluk pada dorongan emosi, dan menuruti hawa nafsunya. Tetapi kecenderungan emosional dan hawa nafsu yang mana yang dituduhkan al-Musawi? Sungguh, al-Musawi tidak mampu menyebut satu pun darinya. Dan kami tidak melihat, tujuan apa yang tersembunyi dibalik pengingkaran 'A'isyah terhadap wasiat itu, seandainya wasiat itu memang ada. Tuduhan al-Musawi bahwa 'A'isyah menyanggah wasiat itu, sesungguhnya berlawanan dengan keyakinan al-Musawi sendiri bahwa 'A'isyah tidak mengetahui wasiat itu. Sebab wasiat itu disampaikan Nabi menjelang wafatnya dikala beliau berada di atas dada saudara dan walinya, yaitu 'Ali ibn Abi Thalib, bukan di atas dada istri yang dicintainya yaitu 'A'isyah. Padahal tuduhan menyanggah dan ingkar, hanyalah tepat untuk orang yang mengetahui suatu perintah lalu menyembunyikannya. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahuinya; maka tidak tepat ia disebut sebagai orang yang jahat dan ingkar. Jika tuduhan ingkar dan jahat itu dibenarkan, berarti tertolaklah pendapat kaum Rafidhah --termasuk al-Musawi-- bahwa Nabi meninggal dunia di atas dada,'Ali ibn Abi Thalib, dan menyampaikan wasiat kepada 'Ali tentang khilafah. Jika benar perkataan Kaum Rafidhah bahwa Nabi meninggal dunia di atas dada 'Ali, maka batallah tuduhan al-Musawi bahwa 'A'isyah telah menyembunyikan dan menyanggah wasiat itu Sebab 'A'isyah tidak mengetahui wasiat itu. Jika anda renungkan kontradiksi ini, akan semakin nyata kebathilan tuduhan al-Musawi! Semoga Allah membinasakan hawa nafsu, betapa ia telah menyudutkan pemiliknya, dan menyeretnya kejurang kenistaan. Hawa nafsu juga membawa orang pada pandangan yang penuh kontradiktif, yang hanya akan menjadi bahan tertawaan orang-orang berakal, apalagi para ulama. Namun tak perlu diherankan jika al-Musawi terjebak dalam posisi seperti. itu, sebab memang begitulah keadaan setiap pemilik akidah yang sesat (rusak). Selanjutnya, pada permulaan Dialog ke 76, al-Musawi memandang Syeikh al-Bisyri sebagai orang yang bertaklid dan terikat oleh ikatan tradisional dan emosionalnya ketika ia memandang 'A'isyah terbebas dari dorongan emosinya dalam pandangannya tentang wasiat. Karena itu, al-Musawi mengharapkan Syeikh bersedia melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisional dan emosional tersebut, dan menilai kembali watak dan prilaku 'A'isyah. Al-Musawi lantas menuturkan sifat-sifat 'A'isyah yang tidak pernah tersebut di dalam kitab-kitab yang standar dan muktabar menurut pandangan para ahli. Untuk menunjukkan kedustaan al-Musawi mengenai pelbagai tuduhannya terhadap 'A'isyah, cukuplah dengan melihat kitab yang dirujuknya, yaitu Nahjul Balaghah. Adapun dalil-dalil yang dikemukakan al-Musawi bahwa 'A'isyah seringkali tunduk pada emosinya, dan yang disandarkannya pada kitab-kitab sunnah, maka jawabannya sebagai berikut, semoga Allah memberi taufik: Adapun cerita yang dikemukakan al-Musawi bahwa 'A'isyah membenarkan berita bohong yang berasal dari para pembuat fitnah mengenai Maria al-Qibthiah dan anaknya Ibrahim (Al-Mustadrak, jilid 4, hal. 39), maka jawabannya adalah bahwa berita itu berasal dari hadits Anas. Di dalam sanadnya terdapat 'Abdullah ibn Luhai'ah. Ibn Ma'in memandangnya dha'if, dan menurutnya tidak dapat dijadikan hujjah. Ibn Muhdi berkata: "Aku tidak akan mengambil sesuatu dari Ibn Luhai'ah. Apa yang ia katakan tidak pernah kudengarkan." Menurut Nasai, ia dha'if, dan menurut Abu Hatim dan Abu Zara'ah, ia sangat diragukan. Al-Jauzjani berkata: "Tidak ada kebenaran sama sekali dalam haditsnya, dan tidak sepatutnya dijadikan hujjah. (Mizan al-I'tidal, jilid 2, hal. 475). As-Suhaili berkata: Di dalam kitab Musnad diceritakan melalui saluran Anas bahwa Rasulullah saw disaat Maria melahirkan putranya Ibrahim, beliau begitu terkesan, sehingga datang Jibril mengucapkan selamat: "Keselamatan atasmu, wahai Ibrahim"! Mengomentari hadits ini, 'Abdul Rahman al-Wakil berkata: "Adapun hadits yang diriwayatkan dari Anas itu; di dalam sanadnya terdapat Ibn Luhai'ah, seorang perawi yang tidak dapat diterima haditsnya. Di dalam riwayat-riwayat hadits ini disebutkan seorang yang bernama Ma'bur seringkali datang menemui Maria. Adakah seorang Muslim yang percaya bahwa Nabi mengizinkan lelaki seperti itu untuk sering berkunjung ke rumahnya? Dan masih diperselisihkan tentang lelaki yang bernama Ma'bur ini. Ada yang mengatakan bahwa ia saudara Maria, dan ada pula yang mengatakannya anak paman Maria. Ia adalah seorang yang dikebiri. Ibn Abil Hadid --seorang Syi'ah-- di dalam Syarah Nahjul Balaghahnya mengemukakan gunjingan yang menimpa 'A'isyah, dan bersihnya 'A'isyah dari gunjingan tersebut sebagaimana dinyatakan Allah dalam surah an-Nur. Ibn Abil Hadid berkata: "Sekelompok kaum Syi'ah menganggap ayat-ayat dalam surah an-Nur itu tidak diturunkan berkenaan dengan 'A'isyah, tetapi berkenaan dengan Maria al-Qibthiyah yang digunjingkan dengan al-Aswad al-Qibthi." Lebih, lanjut Ibn Abil Hadid berkata: Sanggahan mereka mengenai turunnya ayat-ayat itu tentang 'A'isyah adalah omong kosong, sebab hal itu sudah diketahui semua orang melalui hadits-hadits mutawatir (Syarh Nahjul Balaghah, jilid 3, hal. 442. Lihat pula ar-Raudh al-Anfi, jilid 2, hal. 248). Dengan adanya kesaksian salah seorang dari mereka sendiri ini, apa yang hendak dikatakan oleh kaum Rafidhah? Sanggah mereka bahwa ayat-ayat dalam surat an-Nur itu diturunkan mengenai 'A'isyah adalah ungkapan rasa dengki dan kebencian mereka terhadap 'A'isyah, Ummul Mu'minin. Karena itu tak usah heran jika al-Musawi menuduh 'A'isyah seringkali tunduk pada emosinya. Dia juga menyanggah kebersihan diri 'A'isyah seperti yang diterangkan Allah dalam al-Qur'an. Sementara al-Murtadha ar-Rafidhah, penulis Kitab al-Amali, menyatakan kesahihan hadits Anas itu, dan menakwilkan kata-katanya sesuai dengan kepercayaan dan akidahnya, sebagaimana kebiasaan semua kaum Rafidhah, (Lihat al-Amali, jilid 1, hal. 45). Adapun mengenai hadits ad-Maghafir yang dijadikan dalil oleh al-Musawi untuk menunjukkan bahwa 'A'isyah seringkali terbawa oleh emosinya, maka jawabannya adalah sebagai berikut: Ahlus Sunnah tidak menentang kesahihan hadits ini, setelah tetapnya hadits ini dalam kitab-kitab sahih, dan diriwayatkannya oleh para ahli hadits, seperti Bukhari, Muslim dan ulama hadits lainnya yang terpandang. Akan tetapi mereka menolak kalau hadits ini dijadikan dalil bagi keyakinan kaum Rafidhah mengenai para sahabat pada umumnya, dan 'A'isyah khususnya. Mereka juga menolak kalau hadits ini dijadikan dalil untuk menodai keadilan 'A'isyah, dan diselewengkan pengertiannya untuk menuruti kehendak hawa nafsu. Sesungguhnya apa yang terjadi pada diri 'A'isyah dalam hadits ini, menurut penelitian yang benar, tidaklah terjadi karena dorongan emosinya. Juga tidak untuk memenangkan kepuasan pribadinya atas nash-nash syar'i, baik al-Qur'an ataupun hadits yang ia dengar dari nabi sebagaimana yang dikemukakan al-Musawi. Apa yang terjadi pada 'A'isyah itu adalah hal yang fitri dan biasa. 'A'isyah dan istri-istri Nabi yang lain tidaklah berbeda dengan wanita-wanita lain umumnya. Mereka juga memiliki sifat cemburu, lebih-lebih terhadap madu-madu mereka. Maka keterlambatan datangnya Nabi dari rumah Zainab telah menyulut api cemburu di hati 'A'isyah. Inilah yang menyebabkan 'A'isyah membuat tipu daya terhadap madunya (Zainab) dengan persetujuan dari madu-madu 'A'isyah yang lain, dengan membuat suatu cara seperti yang diceritakan dalam hadits-hadits sahih. Satu hal yang menunjukkan benarnya pendapat kami dan bathilnya pendapat al-Musawi adalah tidak adanya celaan Nabi terhadap perbuatan yang mereka lakukan untuk yang pertama kalinya itu. Seandainya perbuatan mereka bertentangan dengan nash atau melanggarnya, tentu Nabi akan melarang mereka. Hal lain yang memperkuat pendapat kami ialah bahwa ayat-ayat di awal surah at-Tahrim baru diturunkan setelah terjadinya peristiwa tersebut, yang merupakan kehendak Allah atas mereka, agar menjadi sebab diturunkan ayat-ayat tersebut untuk menjelaskan hukumnya mengharamkan barang yang halal, baik itu makanan maupun lainnya. Imam Bukhari dalam kitab sahihnya menempatkan hadits'ini dalam Bab 1 "Seorang wanita tidak diperkenankan (makruh) menipu daya suami dan madu-madunya serta kejadian yang menimpa diri nabi". (Lihat Kitab al-Hiyal, bab 12). Dalam mengomentari bab ini, Ibn Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibn al-Munir sebagai berikut: "Yang membenarkan mereka (istri-istri Nabi) mengatakan kepada Nabi: "Apakah anda makan Maghafir?" ialah karena mereka mengemukakannya dengan jalan bertanya (istifham). Hal ini dapat dilihat dari jawaban Nabi, "Tidak". Jadi dengan pertanyaan itu, mereka hendak menyindir, bukan berdusta terang-terangan. Inilah unsur tipu dayanya, seperti yang dikatakan 'A'isyah: "Kalian harus melakukan tipu daya terhadapnya". Seandainya apa yang mereka lakukan itu benar-benar dusta, tentu tindakan itu tidak dinamakan tipu daya (hilah): Sebab kedustaan itu tidak ada keraguan lagi terhadap pelakunya. (Fathul Bari, jilid 12, hal. 344). 3. Mengenai bukti yang dikemukakan al-Musawi bahwa 'A'isyah ketika hendak membawa Asma putri Nukman, pengantin putri yang akan dipertemukan dengan calon suaminya, yaitu Rasulullah, 'A'isyah mengajarkan sesuatu yang tidak benar kepadanya. Yaitu 'A'isyah mengatakan kepadanya: "Ketahuilah bahwa Rasulullah saw --apabila menemui pengantinnya-- beliau akan merasa senang jika sang pengantin berkata kepadanya: "Aku berlindung kepada Allah darimu… dan seterusnya" Hadits, ini sangat dha'if Di dalam sanadnya terdapat Hisyam dan ayahnya, Muhammad ibn Saib. Keduanya matruk. Ahmad ibn Hambal berkata: Hisyam ibn Muhammad as-Sa'ib al-Kalby Shahibu Samrin wa nusbin; kukira, tidak ada orang yang mau meriwayatkan hadits darinya. Menurut Ad-Daruquthni dan lainnya, dia matruk. Dan berkata Ibn Asakir: Dia, orang Rafidhah dan tidak tsiqah. (Mizan al-I'tidal, jilid 4, hal. 304). Tentang Muhammad ibn as-Sa'ib al-Kalby, Imam Bukhari berkata: Yahya dan Ibn Mahdi memandangnya matruk. Lalu Bukhari berkata: 'Ali telah berkata: Telah bercerita kepadaku Yahya, dari Sufyan, (katanya): Al-Kalbi berkata kepadaku: Semua yang aku ceritakan kepadamu dari Abi Shalih dusta". Ats-Tsauri berkata: Hati-hatilah kamu terhadap al-Kalby. Mengenai kisah Asma' putri Nukman ini, as-Suhail berkata dalam Raudh al-Anfi: Para Ulama sepakat mengenai pernikahan nabi dengan Asma', tetapi mereka berselisih pendapat mengenai sebab cerainya. (Lihat Al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 5, hal. 296). 4. Mengenai perkataan al-Musawi bahwa Rasulullah saw pernah menugaskan 'A'isyah mencari keterangan mengenai wanita yang beliau bermaksud mengawininya, untuk dilaporkan kepada beliau mengenai keadaannya, namun 'A'isyah --demi kepentingannya sendiri-- melaporkan kepada beliau keterangan yang tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya, adalah perkataan yang dusta dan tidak dapat diterima, ditinjau dari segi berikut:
5. Mengenai perkataan al-Musawi bahwa 'A'isyah pernah mengadukan Rasulullah kepada ayahnya lantaran mengikuti hawa nafsunya, maka yang dimaksudkannya itu adalah hadits dha'if yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan oleh al-Khathib dalam at-Tarikh dari hadits 'A'isyah dengan sanad yang dha'if, (Lihat Ihya' Ulumud Din, jilid, 2, hal. 44). 6. Mengenai perkataannya bahwa pada suatu ketika 'A'isyah berkata kepada Rasulullah saw, dengan marahnya: "Anda yang mengaku sebagai nabi Allah?", perkataan al-Musawi ini tidak dapat diterima dari dua segi sebagai berikut: 1. Sanad riwayat ini dha'if. Didalamnya terdapat Ibn Ishaq; ia telah meriwayatkannya dengan kata-kata 'an (dari). Dan hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'ia dalam Musnadnya, dan Abu asy-Syeikh dalam al-Amtsal. (Lihat, Ihya' Ulumud Din, jilid 2, hal. 44). 2. Adapun pandangan bahwa akal dapat menemukan baik dan buruk, yang diingkari oleh Syeikh al-Bisyri dalam Dialog 75, tapi yang didukung oleh al-Musawi dalam Dialog 76, di mana dia mengecam Syeikh al-Bisyri dan menuduhnya sofistik (orang yang berargumentasi dengan dalil-dalil yang semu-logis) adalah topik perdebatan yang tidak asing, bahkan kuno. Sesungguhnya manusia dalam masalah ini terbagi atas tiga pendapat, Yang dua ekstrim, dan yang satu moderat. Sebelum mengemukakan tiga pendapat di atas dan menjelaskan mana yang benar, kita mesti melepaskan diri dari keterikatan pada salah satu pihak. Berikut ini kami kemukakan pendapat-pendapat di atas, dengan mengharap limpahan taufik dari Allah SWT. Perkataan "baik" dan "buruk" memiliki tiga pengertian sebagai berikut:
Baik dan buruk dalam pengertian inilah yang diperselisihkan orang. Dan dalam hal ini ada tiga pendapat. Dua diantaranya bersifat ekstrim, dan yang satu moderat, seperti telah dikemukakan tadi. Berikut ini akan kami jelaskan ketiga pendapat tersebut: 1. Aliran Asy'ariyah. Mereka berpendapat bahwa baik dan buruk dalam arti yang ketiga di atas bersifat syar'iy, bukan 'aqliy. Artinya, suatu perbuatan hanya bisa dipandang baik, jika terdapat dalil syara' yang menunjukkan bahwa perbuatan itu baik, dan pelakunya berhak mendapat pujian dan pahala, di dunia atau di akhirat. Demikian pula suatu perbuatan hanya dapat dipandang buruk jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu buruk, dan pelakunya berhak mendapat kecaman dan hukuman, di dunia atau di akhirat. Berdasar pendapat ini kaum Asy'ariyah mengatakan: "Akal tidak dapat menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, juga tidak dapat menentukan apakah suatu perbuatan mendatangkan pahala atau siksa. Apa yang disebut baik, adalah apa yang dipandang baik oleh agama, dan yang buruk adalah apa yang dipandang buruk oleh, agama. Sedang perintah dan larangan hanyalah tanda yang menetapkan tentang baik dan buruk. Semua perbuatan tidak ada yang mengandung sebab, hikmah maupun sifat-sifat. Tuhan menyuruh sesuatu semata-mata karena kehendak-Nya, bukan karena sesuatu hikmah atau kemaslahatan." Seorang muslim, dengan bekal pengetahuan yang sedikit saja akan mengetahui kelemahan. pendapat ini dan pertentangannya dengan al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan akal pikiran. Karena pendapat ini melahirkan dasar-dasar pemikiran yang rusak. Berdasarkan pendapat ini, Tuhan mungkin saja menyuruh sesuatu yang buruk menurut akal pikiran. Kata mereka: Menghapuskan peranan akal lebih aman daripada menyandarkan keburukan kepada agama atau syara'. Mereka memberikan contoh mengenai hal ini dengan pemotongan hewan. Perbuatan ini, menurut mereka, berarti menyiksa atau menyakiti hewan yang tak berdosa. Perbuatan demikian adalah buruk menurut akal pikiran, namun demikian ia diperbolehkan oleh agama. Pandangan ini muncul sebagai jawaban praktis terhadap pendapat kaum Barahimah (penganut Brahmanisme), Mu'tazilah dan sebagian kaum Imamiyah yang sependapat dengan mereka. Syeikh Safar, Ibn 'Abdul Rahman mengomentari metoda kaum Asy'ariyah di bidang aqidah ini sebagai berikut: kaum Barahimah melarang memakan binatang; maka kaum Asy'ariyah tidak mampu menolak keganjilan pemikiran Barahimah dan aliran-aliran yang semacamnya, maka mereka mengingkari peran akal secara prinsipil. Dan dengan itu, mereka menganggap diri mereka telah membela Islam. Ibn Taimiyah berkata mengenai para penganut pendapat ini: "'Adapun pendapat lain yang ekstrim dalam, masalah baik dan buruk ini ialah pendapat yang mengatakan: Sesungguhnya perbuatan itu tidak mengandung sifat-sifat yang berupa hukum ataupun 'illat hukum. Akan tetapi, Allah menetapkan salah satu dari keduanya, semata-mata karena kehendak-Nya, bukan karena hikmah atau karena menjaga kemaslahatan makhluk atau karena sebab lainnya. Menurut mereka, Tuhan mungkin saja menyuruh musyrik kepada Allah, dan melarang menyembah kepada-Nya. Ia juga mungkin menyuruh perbuatan zalim dan keji, dan melarang kebaikan dan taqwa. Hukum-hukum yang dikenakan pada perbuatan-perbuatan hanyalah nisbat dan hubungan (idhafah) semata. Menurut mereka, kebaikan bukanlah kebaikan dalam dirinya sendiri. Demikian pula, kemungkaran tidaklah mungkar dalam sendirinya (in itself)." Lebih lanjut Ibn Taimiyah berkata: Pendapat ini dan konsekuensinya, juga merupakan pendapat yang lemah, bertentangan dengan al-Kitab, Sunnah, dan ijma' ulama salaf dan para faqih. Juga bertentangan dengan pemikiran yang sehat. Sebab Allah SWT telah membersihkan diri-Nya sendiri dari perbuatan keji dan mungkar, seperti firman-Nya: "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan perbuatan-perbuatan yang keji." Para ahli fiqh dan mayoritas kaum Muslimin mengatakan: "Allah mengharamkan barang yang haram, maka ia menjadi haram, dan Allah mewajibkan barang yang wajib, maka ia menjadi wajib." Ini berarti bahwa ketentuan wajib dan haram datang dari Allah SWT, dan itu terjadi melalui Kalam Allah dan Khithab-Nya. Dan ada sifat wajib dan haram, dan itu merupakan sifat bagi perbuatan itu sendiri. Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Dia mengetahui kemaslahatan yang terkandung dalam hukum-hukum. Karena itu Allah memberikan perintah dan larangan, karena pengetahuan-Nya mengenai apa yang tersembunyi dibalik perintah dan larangan itu, baik yang berupa kemaslahatan bagi hamba, ataupun kerusakan (mafsadat) bagi mereka. Maka Allah menetapkan hukum suatu perbuatan dengan khithab-Nya. Sedang sifat suatu perbuatan, kadang-kadang bisa tetap tanpa adanya khithab. (Majmu' Fatawa, dengan sedikit perubahan, jilid 8, hal. 432). 2. Kaum Mu'tazilah, Barahimah, dan Rafidhah, dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Menurut mereka, baik dan buruk itu ditentukan oleh akal pikiran, bukan oleh agama/syara'. Jelasnya, pada perbuatan-perbuatan itu sendiri --tanpa memandang adanya syara'-- terdapat sifat kebaikan dan keburukan, yang mendatangkan pujian dan pahala atau kecaman dan siksaan bagi pelakunya. Baik dan buruk merupakan dua hal yang melekat pada suatu perbuatan. Terdapat perselisihan diantara mereka. Menurut sebagian dari mereka, baik dan buruknya suatu perbuatan itu karena dzat perbuatan itu semata-mata. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa baik dan buruk adalah sifat tambahan pada dzat perbuatan itu. Namun mereka sependapat bahwa fungsi syara' hanyalah penyingkap sifat baik dan buruk itu. Setiap hal yang dipandang baik oleh akal, baik pula di sisi Allah. Dan setiap hal yang dipandang buruk oleh akal, maka buruk pula di sisi Allah. Pendapat demikian, tentu tidak diragukan lagi kebathilannya, karena ia melahirkan dasar-dasar pemikiran yang rusak. Ia mempertuhankan akal dan menjadikannya hakim bagi syara'. Terjadi kesewenang-wenangan akal dalam hal ini. Juga penghapusan peran nash-nash agama dan menentangnya hanya karena berlawanan dengan akal. Pengingkaran terhadap mu'jizat-mu'jizat dan hal-hal ghaib serta penakwilan terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya atau sebagian darinya; pengingkaran terhadap ketentuan (qadar) Allah dan menafikannya, semata-mata karena bertahkim kepada akal pikiran. Kepada para pendukung aliran ini, terutama kaum Rafidhah, kami ingin menyatakan: "Pendapat kalian sungguh bertentangan dengan al-Kitab dan al-Ithrah". Mengenai pertentangannya kepada al-Kitab, karena Allah berfirman: "Tiada hukum, kecuali bagi Allah", dan firman-Nya: "Ingatlah, bahwa bagi-Nya segala ketentuan atau hukum". Demikian pula firman Allah: "Ia berbuat apa saja yang Dia kehendaki, dan menghukum apa saja yang Dia kehendaki". Ayat-ayat ini menetapkan bahwa Hakim yang menetapkan baik dan buruk perbuatan dalam arti mendatangkan pujian dan pahala atau kecaman dan siksa bagi pelakunya, adalah Allah SWT. Ini jelas berlainan dengan kepercayaan anda dan dasar-dasar pemikiran yang anda rumuskan dalam kitab-kitab anda. Pendapat anda ini juga berlawanan dengan firman Allah: "Dan Kami tidak akan menyiksa, sampai Kami mengutus seorang Rasul". Ayat ini menetapkan bahwa pahala dan siksa hanya ada setelah dikirimkannya Rasul. Sementara konsekuensi logis dari pendapat mereka itu adalah bahwa pahala dan siksa itu menjadi wajib berdasarkan pertimbangan akal, baik setelah maupun sebelum diutusnya Rasul. Jika benar demikian, maka pasti ada siksa karena meninggalkan barang wajib sebelum datangnya seorang Rasul. Tentu, pendapat ini berlawanan dengan ayat di atas, dan berlawanan pula dengan kisah para nabi dan ummat mereka yang disebutkan dalam al-Qur'an. Mengenai pertentangan pendapat mereka dengan al-Ithrah, terlihat jelas dalam riwayat yang dikemukakan oleh al-Kulaini, salah seorang tokoh Rafidhah, di dalam kitab al-Kafi, sebuah kitab yang mereka pandang paling sahih, sebagaimana kitab Sahihnya Bukhari di kalangan kaum Sunni. Dalam buku tersebut, al-Kulaini mengutip perkataan Imam Abi 'Abdillah as: "Tiada bagi Allah atas makhluk kewajiban untuk mengenal-Nya, dan tiada bagi makhluk atas Allah kewajiban untuk mengenal mereka. Seandainya menurut pandangan akal, pengenalan itu wajib, maka mengenal Allah tentulah wajib atas makhluk sebelum ada pengenalan (ta'rif) dari Allah. Pandangan demikian, tentu berlawanan dengan pendapat yang benar". (Lihat, Mukhtashar at-Tuhfah, hal. 70). 3. Adapun pendapat yang ketiga, yaitu pendapat yang berada di tengah-tengah kedua pendapat yang ekstrim di atas, ialah pendapat Ahlus Sunnah. Dan pendapat inilah yang benar. Menurut pendapat ini, suatu perbuatan tidak dapat dihukumi baik atau buruk, dalam arti ia mendatangkan pahala atau siksa, sebelum adanya ketentuan dari agama syara', walaupun perbuatan itu mengandung kemaslahatan atau madharat, seperti adil dan zalim. Jika Allah (asy-Syari') memerintahkan suatu perbuatan, maka jadilah perbuatan itu baik. Dan jika ia melarang suatu perbuatan, maka jadilah ia buruk. Jadi sifat baik dan buruk itu diperoleh melalui khithab Allah, walaupun tidak terlihat oleh akal adanya kemaslahatan dan kemadharatan dalam perbuatan itu. Kadang-kadang Allah memerintahkan suatu perbuatan hanya untuk menguji seseorang, apakah dia akan taat atau tidak. Di sini yang dikehendaki bukanlah terlaksananya perbuatan itu. Sebagaimana Allah menyuruh Nabi Ibrahim untuk menyembelih/ putranya, Asmail. Setelah keduanya berserah diri dan Ibrahim, membaringkan anaknya atas pelipisnya, maka tercapailah tujuan perintah itu. Maka Allah menggantinya dengan sembelihan yang besar. Di sini hikmahnya terdapat dalam perintah itu, bukan pada perbuatan yang diperintahkan. Ibn Taimiyah, dalam menjelaskan kepercayaan Ahlus Sunnah mengenai masalah baik dan buruk, berdasarkan pertimbangan akal, berkata: Hikmah yang diperoleh dari syari'at terbagi atas tiga macam:
Dengan begitu, hikmah itu ada pada perintah itu sendiri, bukan dari perbuatan yang diperintahkan. Hikmah jenis kedua dan ketiga ini tidak dapat dipahami oleh kaum Mu'tazilah, Rafidhah dan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Sebab mereka beranggapan bahwa kebaikan dan keburukan itu hanya terdapat pada sesuatu yang memang bersifat baik dan buruk, tanpa ada ketetapan dari Allah. Ibn Taimiyah berkata: Kaum Asy'ariyah berpendapat bahwa semua perintah syari'at tergolong ujian dari Allah, dan perbuatan-perbuatan itu tidak memiliki sifat, baik sebelum maupun setelah adanya perintah syara'. Orang-orang yang bijak dan mayoritas ulama menetapkan tiga pembagian tersebut. Dan pandangan inilah yang benar. (Majmu' al-Fatawa, dengan sedikit perubahan, jilid 8, hal. 445). 3. Adapun hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits 'A'isyah, yang menerangkan bahwa Nabi meninggal dunia di atas dadanya, dan hadits-hadits lain yang dipandang al-Musawi mutawatir, maka jawaban mengenai soal ini adalah sebagai berikut:
9. Adapun hadits 'Abdullah ibn 'Umar dari 'Ali; katanya: Rasulullah telah mengajariku seribu bab, dan setiap bab memancarkan (seribu) bab lainnya." Hadits ini dha'if. Di dalam sanadnya terdapat Kamil ibn Thalhah. Para ulama berselisih paham mengenai dia. Ad-Daruquthni memandangnya tsiqat. Menurut Yahya ibn Ma'in, ia bukan apa-apa. (Al-Mizan, jilid 3, hal. 400). Di dalam sanadnya terdapat pula. 'Abdullah ibn Luhai'ah. Menurut Ibn Ma'in, ia dha'if dan tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Yahya ibn Sa'id, tak ada sesuatu yang berharga padanya. Abu Zara'ah berkata: Ia termasuk orang yang tidak dapat dijadikan hujjah. An-Nasa'i memandangnya dha'if Al-Jauzjani berkata: Tidak ada cahaya (kebenaran) pada haditsnya. Tidak sepatutnya dia dijadikan hujjah. Dalam kitab adh-Dhu'afa', Bukhari mengomentari hadits yang diriwayatkannya; katanya: "Hadits ini mungkar". (Al-Mizan, jilid 2, hal. 475). Dalam sanadnya terdapat pula Huyai ibn 'Abdillah al-Maghafiri. Ibn Adi berkata: Ada 13 hadits Huyai yang berasal dari Ibn Luhai'ah, kebanyakannya mungkar. Diantaranya hadits: "Pengebirian ummatku dengan puasa dan shalat". Juga hadits: "Rasulullah telah mengajariku seribu bab, setiap bab memancarkan seribu bab lainnya". (Al-Mizan, jilid 1, hal. 623). Tidakkah anda lihat kelemahan hadits-hadits yang dikemukakan al-Musawi dan yang dipandangnya sebagai hadits-hadits mutawatir itu? Hal ini tidaklah mengherankan sama sekali. Sebab, al-Musawi termasuk kelompok orang yang, manakala menganggap suatu ucapan itu baik, maka ucapan itu mereka jadikan sebuah hadits. Mereka menghalalkan perbuatan seperti itu, dengan anggapan bahwa mereka berdusta hanya demi kepentingan Nabi, bukan merugikan beliau. Tipu daya al-Musawi tidak cukup sampai disitu. Dia juga mau menolak hadits-hadits sahih yang tsabit tentang wafatnya Nabi di atas dada 'A'isyah, dengan perkataan yang tidak patut. Dia menganggap hina seorang pengembala kambing yang meninggal dunia di atas dada istrinya, apalagi seorang Nabi, seolah-olah mati dalam keadaan demikian itu merupakan kematian yang hina. Kepada al-Musawi, kami ingin mengatakan: Anda menentang dan memandang buruk sesuatu yang oleh Rasulullah saw sendiri dipandang baik atau diridhainya, dan ditetapkannya atas keluarganya yang suci. Dengan demikian, anda telah menentang Rasulullah dan keluarganya yang suci. Mengenai hadits-hadits dha'if yang dikemukakannya dan dipandangnya sebagai hadits-hadits yang lebih rajih sanadnya dan lebih sesuai dengan kepribadian Nabi, itu tidak lain hanyalah dusta, menuruti hawa nafsu dan menyimpang dari kebenaran. Hal itu terlihat jelas setelah kami kemukakan kelemahan hadits-hadits itu menurut para ahli hadits. Tentang hadits-hadits tersebut, Ibn Hajar berkomentar: "Hadits 'A'isyah yang menerangkan bahwa Rasulullah saw meninggal dunia di atas dadanya, bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dan Ibn Sa'ad melalui berbagai saluran yang menerangkan bahwa Rasulullah saw meninggal dalam keadaan kepala beliau berada di atas dada 'Ali. Semua saluran hadits tersebut tidak terlepas dari orang Syi'ah. Karena itu, tidak perlu diperhitungkan." (Fathul Bari, jilid 8, hal. 139). Al-Musawi seakan-akan mengakui kedha'ifan hadits-hadits yang dikemukakannya itu menurut penilaian para ahli hadits, terkecuali hadits Ummu Salamah. Hal ini terlihat jelas dari perkataannya pada akhir dialognya sebagai berikut: Kalau pun seandainya hadits 'A'isyah itu tidak ada yang menyanggah selain hadits Ummu Salamah itu saja, tentu hadits Ummu Salamah lebih patut didahulukan. Padahal tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut seperti yang dikira al-Musawi. Di muka telah kami kemukakan pendapat para ahli tentang pengompromian antara kedua hadits tersebut. Kalaupun, seandainya kita terima pernyataan al-Musawi tentang kesahihan hadits-hadits tersebut, dan bertentangannya hadits Ummu Salamah dengan hadits 'A'isyah, maka kami ajukan pertanyaan sebagai berikut: "Kenapa 'Ali ibn Abi Thalib diam saja dalam soal ini dan dalam soal wasiat; padahal ia tahu bahwa 'A'isyah menegasikan wasiat itu? Diamnya 'Ali ini, tidak dapat diartikan lain, kecuali pengakuan terhadap kebenaran hadits 'A'isyah. Jika tidak, kenapa dia diam, sedang Ummu Salamah angkat bicara? Diamnya 'Ali memang merupakan pengakuan terhadap kebenaran hadits 'A'isyah. Sebab ia pernah melontarkan pernyataan mengenai hal itu. Di dalam kitab ad-Dalail, Imam Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan dari 'Ali, bahwa ia --ketika terjadi perang Jamal-- berkata: "Hai manusia, sesungguhnya Rasulullah saw tidak berpesan kepada kita tentang kepemimpinan ini". Maka bagaimana pendapat al-Musawi dan kaumnya dapat diterima, setelah ada penjelasan dari orang yang bersangkutan ini? |
||
|
||