Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by


Sanggahan terhadap Dialog 71-74

Bahwa 'A'isyah adalah wanita yang utama, tidak dapat disangkal lagi. Sebab ia istri Nabi dan Ummul Mu'minin. Demikian pula halnya dengan istri-istri Nabi lainnya. Begitu juga tentang keutamaan Khadijah. Ia wanita pertama yang memeluk Islam, dan yang mendampingi Nabi di permulaan dakwah Islam di Makkah. Dialah orang yang memperkuat dan menunjang dakwah Islam, sampai dia berpulang kerahmatullah. Maka Rasulullah saw lalu menyebut tahun kematiannya itu sebagai tahun kesusahan ('Am al-Huzn).

Kaum Sunni mengakui bagi setiap istri Nabi kelebihan dan keutamaan masing masing. Kitab-kitab mereka membuktikan hal ini, baik kitab-kitab Sahih, Sunan maupun Musnad.

Diantara mereka ada yang lebih utama dibanding yang lainnya. Dalam hal ini, tentu keutamaan Khadijah tak dapat diragukan lagi, sebab ia wanita pertama yang menerima Nabi dan dakwah Islam Karena itu, Nabi begitu mencintai dan menghormatinya sampai setelah ia tiada.

Sudah kita ketahui bersama bahwa Nabi tidak mengawini wanita lain, kecuali setelah meninggalnya Khadijah. Jadi tidak mungkin membandingkan dia dengan wanita lainnya. Jika kita membandingkan 'A'isyah dengan istri-istri Nabi (Ummahatu al-Mu'minin) lainnya, yang berkumpul bersamanya di rumah Nabi, maka 'A'isyah mempunyai keutamaan yang lebih tinggi dibanding lainnya. Setiap orang yang mengenal keutamaan-keutamaan Ummahatul Mu'minin seperti yang diceritakan kepada kita dalam kitab-kitab Sahih maupun Musnad, akan mengakui dan menemukan hal ini.

Adapun kaum Rafidhah, termasuk --al-Musawi-- mereka tidak pernah jujur dan obyektif dalam menyatakan kecintaan, kebencian, maupun dalam menilai keutamaan seseorang. Mereka hanya menilainya atas dasar fanatisme dan hawa nafsu saja. Maka hadits-hadits Bukhari yang menerangkan keutamaan Khadijah, tidaklah dijadikan dalil oleh al-Musawi karena ia memang meyakini kesahihannya, melainkan karena hadits-hadits itu sesuai dengan madzhab dan keinginannya. Jika tidak, mengapa ia tidak mengemukakan keutamaan 'A'isyah, padahal Bukhari banyak sekali meriwayatkan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya? Justru kita lihat al-Musawi berbuat sebaliknya, ia membuang jauh-jauh hadits-hadits itu. Hal ini tiada lain karena 'hadits-hadits itu berlawanan dengan akidah dan madzhabnya. Karena itu, ia tidak pernah menuturkan tentang 'A'isyah, kecuali yang buruk-buruk saja!

Mengapa kaum Rafidhah mau menyatakan keutamaan Khadijah, tentu tidak lain karena dia ibu Fathimah, nenek Hasan dan Husein.

Sedangkan alasan mereka menolak hadits-hadits 'A'isyah tentang wasiat, tidak lain hanya karena tidak sesuai dengan madzhab dan akidah mereka. Karena itu, al-Musawi mengemukakan alasan penolakannya terhadap hadits 'A'isyah sebagai berikut: "Kami menolak hadits 'A'isyah tentang wasiat, karena hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah".

Kalau kita tanyakan kepada kaum Rafidhah, termasuk al-Musawi, kenapa mereka tidak berhujjah dengan hadits 'A'isyah tentang wasiat, mereka tidak akan dapat memberikan jawaban yang dapat mengkritik nilai kehujjahan hadits itu. Sebab kesahihan hadits itu tidak dapat diragukan lagi menurut para ahli hadits. Dan banyak pula hadits-hadits pendukungnya yang tidak melalui saluran 'A'isyah, sebagaimana telah kami jelaskan terdahulu dalam tanggapan kami pada dialog sebelumnya. Dengan demikian, maka alasan penolakan mereka terhadap hadits sahih itu tak lain hanyalah sikap fanatik dan menuruti hawa nafsu. Inilah dasar utama kaum Rafidhah dalam menerima atau menolak sesuatu riwayat. Renungkanlah ini.

Adapun hadits-hadits yang dikemukakan al-Musawi pada Dialog 68, dan 70, mereka tidak dapat dijadikan hujjah, sebab hadits-hadits itu dha'if menurut kesepakatan para ahli hadits. Penjelasan mengenai hal ini sudah dikemukakan sebelumnya. Karena itu, maka tidak dapat dibenarkan tindakan al-Musawi menentang hadits 'A'isyah tentang wasiat itu dengan hadits-hadits palsu tersebut. Sebab jelas tidak bisa dibenarkan mengcounter hadits sahih dengan hadits-hadits palsu.

Pada Dialog 73 terdapat sesuatu yang mengherankan yang lahir dari lidah Syeikh al-Bisyri, yaitu sikap berbaik-baik dalam meminta kebenaran. Syeikh memuji al-Musawi dengan sesuatu yang tidak pantas untuknya. Ia memandang al-Musawi sebagai orang yang tidak pernah berpura-pura, dan terbebas dari sikap mengelabui dan hipokrit. Padahal, demi Allah, al-Musawi tidak pernah dapat melepaskan sikap seperti itu kepada siapa pun. Apakah ada dialog-dialog al-Musawi yang terlepas dari sifat-sifat yang buruk itu, yaitu menipu, dan nifaq, sehingga ia pantas disebut orang yang terbebas dari semua itu?

Dan pada Dialog 74, al-Musawi memenuhi permintaan Syeikh untuk menjelaskan alasan yang membuat dia tidak dapat menerima hadits 'A'isyah. Ia tidak mengemukakan sebab-sebab yang biasa dipakai untuk menolak suatu riwayat, dan yang dapat dipandang oleh para ahli sebagai kritik obyektif yang dapat menghilangkan kehujjahan riwayat terkait. Ia mengembalikan sikap penolakannya itu pada permusuhan yang terjadiantara 'A'isyah dan 'Ali, dan hal-hal lain yang mendorong 'A'isyah menolak wasiat Nabi kepada 'Ali mengenai khilafah. Maka jawaban kami terhadap pernyataan al-Musawi tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Menuntut kesahihan tuduhannya (terhadap 'A'isyah). Sebab tuduhan tersebut adalah tuduhan berat yang tidak didukung oleh buku-buku yang mu'tamad menurut para ahli riwayat, dan tak seorang pun dari para ulama yang pernah menyatakan tuduhan seperti itu kepada 'A'isyah. Seandainya tuduhan al-Musawi itu benar, tentu para sahabat telah menjelaskannya. Justru adanya pengakuan para sahabat terhadap hadits 'A'isyah dan tidak adanya kritikan mereka terhadapnya meskipun dengan adanya pelbagai dorongan untuk menentangnya, terutama dari kalangan Ahlul Bait sendiri di mana didalamnya terdapat 'Ali ibn Abi Thalib pada masa pemerintahannya maupun sebelumnya, merupakan bukti nyata atas kedustaan apa yang dituduhkan al-Musawi itu.
  2. Kalau kita menerima apa yang dikemukakan al-Musawi bahwa sikap permusuhan itu yang menyebabkan 'A'isyah menentang wasiat Nabi mengenai kekhalifahan 'Ali, maka bagaimana jawaban kaum Rafidhah terhadap riwayat-riwayat lain yang menegasikan wasiat Nabi terhadap seseorang; misalnya riwayat Ibn 'Abbas dan riwayat Ibn Abi Aufa. Adakah orang-orang itu juga memusuhi 'Ali? Dan apa pula jawaban mereka terhadap perkataan 'Ali pada perang Jamal: "Hai manusia, sesungguhnya Nabi tidak berpesan kepada kita sedikit pun tentang kepemimpinan ini". Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi dalam kitab ad-Dala'il.
  3. Al-Musawi mengutip pendapat yang semena-mena mengenai perang Jamal. Ia menuduh 'A'isyah, Thalhah, dan Zubair keluar untuk memerangi 'Ali. Dengan itu, katanya, 'A'isyah dapat meluapkan dendamnya yang selama ini tersembunyi. Juga mengenai berita bahwa 'A'isyah bersujud syukur ketika mendengar kematian 'Ali ibn Abi Thalib.

Padahal buku-buku sejarah dan riwayat yang disepakati kesahihannya menyatakan bahwa 'A'isyah dan orang-orang yang bersamanya keluar untuk menuntut darah 'Utsman yang terbunuh. Mereka keluar ke Basrah untuk menuntut balas kematian 'Utsman dari komplotan pembunuhnya yang bersembunyi di Basrah ketika 1tu.

Setelah 'Utsman ibn Hunaif tidak berhasil memisah antara mereka dan komplotan pembunuh itu, maka terjadilah perang yang mula-mula. Ketika 'Ali tiba dari Syam ke Basrah, maka beliau mengajak Thalhah dan Zubair untuk berdamai, mereka pun --termasuk 'A'isyah-- menerima tawaran 'Ali, dan masing-masing pihak telah berketetapan hati untuk meninggalkan Basrah menuju Madinah maka ketika itulah komplotan pembunuh di bawah pimpinan 'Abdullah ibn Saba' yang dikenal dengan sebutan Ibn as-Sauda', segera mengobarkan api fitnah diantara dua kelompok itu, dan -alhamdulillah-- tidak terdapat diantara mereka itu seorang pun dari sahabat Nabi. Maka terjadilah pertempuran yang menelan korban beribu-ribu orang. (Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir, jilid 7, hal. 230-24.6).

Mengenai dalil yang dikemukakan al-Musawi tentang kebencian 'A'isyah terhadap 'Ali dengan hadits Bukhari dari 'A'isyah sebagai berikut: Ketika sakit Rasulullah saw kian bertambah berat, beliau keluar dengan menyeret kedua kakinya, diantara dua orang yang memapahnya, yaitu 'Abbas ibn 'Abdul Muththalib dan seorang lagi Ubaidillah ibn Uthbah, perawi hadits ini dari 'A'isyah, berkata: "Apa yang dikatakan 'A'isyah ini, kusampaikan kepada 'Abdullah ibn 'Abbas, yang segera balik bertanya kepadaku: Tahukah kamu siapa orang yang tidak disebut namanya oleh 'A'isyah?" "Tidak", jawabku. Maka lbn 'Abbas bcrkata lagi: Ia adalah 'Ali." Ini adalah riwayat Bukhari. (Al-Fath, jilid 8, hal. 141).

Akan tetapi al-Musawi menganggap riwayat al-Bukhari itu kurang. Menurutnya, Bukhari telah meninggalkan perkataan Ibn 'Abbas berikut ini: "Sungguh, 'A'isyah tidak pernah merasa senang dengan segala berita baik mengenai 'Ali"! Al-Musawi menuduh Bukhari sengaja meninggalkan perkataan Ibn 'Abbas itu, sebagaimana telah menjadi kebiasaannya.

Jawaban atas tuduhan di atas adalah sebagai berikut: Bukhari memiliki syarat-syarat yang sangat rumit dan ketat dalam riwayat dan perawinya sekaligus. Segala sesuatunya mesti jelas dan nyata, sebelum ia mau meriwayatkan suatu riwayat atau menerima riwayat dari seorang perawi. Hal demikian tentu tidak asing lagi bagi para ahli hadits. Bukan pada tempatnya untuk menjelaskan persoalan ini di sini. Inilah yang membedakan Bukhari dengan ulama hadits lainnya, dan hal ini pula yang menyebabkan kitab beliau dipandang sebagai kitab yang paling sahih setelah Kitab Suci al-Qur'an.

Karena tambahan hadits itu tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, (al-Musawi menganggap Bukhari membuang begitu saja tambahan hadits itu) maka beliau berpaling darinya dan tidak bersedia meriwayatkannya. Mengenai periwayatan yang dilakukan oleh Ibn Sa'ad, tentu tidak dapat dijadikan hujjah, sebab ia tidak menggunakan syarat-syarat yang dipakai oleh imam Bukhari.

Jika kita terapkan syarat-syarat Bukhari atas riwayat ini, maka kita akan mengatakan bahwa riwayat itu tidak sahih. Dalam sanadnya terdapat Yunus ibn Yazid al-Ayla. Ibn Said yang meriwayatkan tambahan hadits itu berkata mengenai Yunus: "Ia tidak dapat dijadikan hujjah". Waki' memandangnya sebagai orang yang buruk hafalannya. Ahmad memandang hadits-haditsnya mungkar. Atsram berkata: Ahmad mendha'ifkan Yunus. Menurut adz-Dzahabi, ia tsiqat dan dapat dijadikan hujjah. (Mizan, jilid 4, hal. 484). Ibn Hajar al-Asqalani berkata dalam at-Taqrib: "Ia tsiqat, hanya saja riwayat-riwayatnya yang berasal dari az-Zuhri mengandung persangkaan (waham), sedang yang datang dari lainnya, sering terdapat kesalahan."

Di dalam sanad hadits itu terdapat pula Ma'mar ibn Rasyid. Ibn Hajar di dalam at-Taqrib setelah memandangnya tsiqat, berkata: "Hanya saja riwayatnya yang bersumber dari Tsabit, al-A'masy dan Hisyam ibn 'Urwah, mengandung sesuatu (yang meragukan). Demikian pula hadits yang diriwayatkannya di Basrah. Dan periwayatannya terhadap hadits ini dilakukannya di Basrah." Jika anda merenungkan keterangan ini, anda akan tahu mengapa Bukhari meninggalkan tambahan hadits itu. Anda juga akan mengetahui kedustaan dan kezaliman al-Musawi terhadap Bukhari.

Mengenai riwayat yang dikemukakan al-Musawi dan yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, jilid 6, hal. 113 dari sanad Atha' ibn Yasar; ia berkata: "Pernah seorang laki-laki datang dan mencaci 'Ali dan 'Ammar ibn Yasir di hadapan 'A'isyah …"

Dalam sanadnya terdapat Hubaib ibn Tsabit ibn Qais. Ia banyak melakukan irsal dan tadlis. (Lihat biografinya dalam Taqrib at-Tahdzib). Dalam sanadnya juga terdapat Abu Ahmad Muhammad ibn 'Abdillah ibn az-Zubair. Al-Ajli berkata: Ia Syi'ah. Menurut Abu Hatim, ia memiliki banyak waham (kelemahan). (baca biografinya dalam kitab al-Khulashah). Kemudian riwayat ini tidak menjelaskan laki-laki yang mengecam 'Ali dan 'Ammar itu. Juga tidak menjelaskan apa yang dikatakannya mengenai 'Ali dan 'Ammar. Lalu bagaimana al-Musawi bisa menyimpulkan bahwa 'A'isyah membiarkan dia mengecam 'Ali? Padahal sangat mungkin, laki-laki itu mengatakan sesuatu yang membersihkan nama 'A'isyah hingga 'A'isyah menanggapinya demikian. Kami mengatakan demikian itu seandainya riwayat ini dianggap sahih. Dan sudah kami kemukakan dalil yang menegasikan tuduhan kepada'A'isyah itu.

Mengenai penolakan al-Musawi akan kehujjahan hadits 'A'isyah yang sahih: "Aku melihat Nabi dan beliau bersandar ke dadaku. Lalu beliau berdoa dengan suara samar-samar, dan lemas, lalu meninggal, sementara aku tidak menyadarinya. Jadi, bagaimana ia berwasiat kepada 'Ali". Jawabnya adalah bahwa 'A'isyah menafikan wasiat nabi kepada 'Ali mengenai khilafah itu karena 'A'isyah dan para sahabat, termasuk 'Ali, mengetahui bahwa nabi memang tidak berwasiat kepada seseorang sebelum sakitnya. Dan ketika sakit, beliau berada di rumah 'A'isyah. Dan 'A'isyah tidak pernah meninggalkannya sampai beliau wafat tanpa berwasiat tentang khilafah. Lalu, kapan wasiat itu disampaikan Nabi? Coba anda pikirkan.

Adapun hadits yang diriwayatkan Muslim dari 'A'isyah: "Rasulullah saw tidak meninggalkan dirham, kambing ataupun unta …" Al-Musawi telah menolak hadits ini sebagaimana ia telah menolak hadits sebelumnya. Menurutnya hadits itu tidak berarti Nabi benar-benar tidak meninggalkan sesuatu pun. Menurutnya, Nabi meninggalkan harta. Berkata dia: Nabi meninggalkan harta untuk membayar hutang-hutangnya dan memenuhi janji-janjinya. Dan beliau menyisakan darinya sesuatu untuk ahli warisnya". Al-Musawi berdalil mengenai perkataannya itu dengan tuntutan Fathimah untuk mendapat warisan.

Jawaban Mengenai hal ini adalah sebagai berikut: Sungguh, banyak sekali hadits-hadits sahih dan tsabit yang menerangkan bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan harta sedikit pun. Hadits-hadits tersebut bukan hanya dari satu jalan saja, yaitu jalan 'A'isyah, tetapi datang melalui berbagai saluran, Bukhari meriwayatkan dengan salurannya dari 'Umar ibn al-Harits, saudara laki-laki Juwairiyah putri al-Harits; ia berkata: Diwaktu Rasulullah saw meninggal, beliau tidak meninggalkan dirham, dinar, hamba sahaya laki-laki, ataupun perempuan. Juga tidak meninggalkan apa-apa, selain keledainya yang putih, pedang dan tanah yang telah ditetapkannya untuk sedekah". (Fathul Bari, jilid, 5, hal. 356).

Yang dimaksud dengan "Nabi tidak berwasiat tentang sesuatu", dalam hadits yang menafikan wasiat, adalah wasiat khusus, yaitu wasiat tentang khilafah, bukan wasiat secara mutlak. Hal demikian dijelaskan di dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Thalhah ibn Musharrif berikut ini: "Aku bertanya kepada 'Abdullah ibn Abi Aufa: "Adakah Rasulullah saw berwasiat?". "Tidak", jawab 'Abdullah. "Bagaimana ia mewajibkan manusia untuk berwasiat, atau bagaimana mereka disuruh untuk berwasiat (sementara beliau sendiri tidak)?, tanyaku lagi. 'Abdullah menjawab: "Ia berwasiat dengan Kitab Allah".

Mengenai tuntutan Fathimah untuk mendapatkan warisan dari ayahnya, maka jawaban mengenai ini dapat dikemukakan. dari berbagai segi:

1. Al-Musawi --sebagaimana kebiasaan buruknya-- tidak bersedia mendatangkan riwayat yang sahih manakala riwayat itu berlawanan dengan madzhabnya. Ia cukup mengisyaratkan saja tentang hadits-hadits sahih itu, dengan cara yang dapat membuat pembaca menerima dan mengakui apa yang didakwakannya. Hal seperti ini dilakukannya mengenai tuntutan Fathimah untuk mendapat warisan dari ayahnya. Lihat saja pada perkataannya: "Dengan dalil adanya tuntutan Fathimah atas warisannya." Di dalam komentarnya atas dalil yang dikemukakan ini, al-Musawi cukup dengan menyandarkannya saja kepada Bukhari dan Muslim, tanpa mangemukakan riwayat itu seluruhnya. Sebab kelengkapan riwayat itu justru bertolak belakang sama sekali dengan apa yang didakwakannya.

Di sini kami kemukakan riwayat Bukhari, supaya menjadi jelas bagi pembaca, kebenaran perkataan kami tentang al-Musawi. Bukhari berkata: Bercerita kepadaku Yahya ibn Bakir dari al-Laits, dari 'Aqil dari ibn Syihab dari 'Urwah dari 'A'isyah ra: "Fathimah putri Rasulullah saw mengirim (surat) kepada Abu Bakar untuk meminta warisannya (dari harta peninggalan Nabi), yaitu harta Fay' yang diberikan Allah kepada Nabi di Madinah dan di Fadak, dan sebagian yang masih tersisa dari khumus (1/5) Khaibar. Abu Bakar berkata: "Sungguh Rasulullah saw telah bersabda: "Kami (para Rasul) tidak mewariskan apa-apa. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. Keluarga Muhammad hanya dapat memakan dari harta ini". Dan aku, demi Allah, tidak akan mengubah sedekah Rasulullah saw dari keadaannya yang ada pada masa beliau. Aku akan melaksanakan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw". Maka Abu Bakar menolak permintaan Fathimah. Fathimah pun menjadi marah kepada Abu Bakar karenanya. Maka ia menjauhi Abu Bakar dan tidak berbicara kepadanya sampai ia meninggal dunia. Fathimah hidup enam bulan setelah wafat Nabi: (Al-Fath, 7/493; al-Maghazi).

Bukhari juga meriwayatkan hadits itu dalam bab Fardh al-Khumus. Ia menambahkan: 'A'isyah, perawi hadits ini berkata: Fathimah meminta kepada Abu Bakar bagiannya dari harta yang ditinggalkan Nabi yaitu, tanah Khaibar, Fadak dan sedekah Nabi di Madinah. Namun Abu Bakar menolaknya, dan berkata: "Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun apa yang dilakukan Rasulullah. Aku takut menjadi orang yang tergelincir (dari kebenaran) manakala aku meninggalkan sedikit pun dari perintah Nabi. Adapun sedekah Nabi di Madinah, maka 'Umar telah menyerahkannya kepada 'Ali dan 'Abbas. Sedang harta Khaibar dan Fadak, maka 'Umar menahannya. 'Umar berkata: Keduanya merupakan sedekah Nabi, yang menjadi haknya dan hak orang yang menggantikannya. Karena itu, kedua harta itu harus diserahkan kepada Waliyul Amri" Berkata az-Zuhri, salah seorang perawi hadits ini: Kedua harta itu tetap seperti semula sampai hari ini". (Al-Fath, jilid 6, hal. 197).

Di dalam kitab al-Fara'idh, Bukhari juga meriwayatkan hadits serupa. Hanya di sini ia menambahkan bahwa 'Abbas datang bersama Fathimah menemui Abu Bakar untuk meminta warisan mereka.

Imam Bukhari meriwayatkan melalui sanadnya yang sampai ke ibn Syihab az-Zuhri; ia berkata: Malik ibn 'Aus bercerita kepadaku (tentang tuntutan waris) --Muhammad ibn Jubair juga bercerita kepadaku tentang itu. Aku pun datang menemuinya dan menanyakannya. Maka ia berkata: Aku datang menemui 'Umar ibn al-Khaththab. Tidak lama kemudian, penjaga pintu 'Umar datang mendekatinya seraya berkata: "Adakah tuan punya janji dengan 'Utsman, 'Abdurahman, Zubair dan Sa'ad?" "Ya", jawab 'Umar. "Izinkan mereka masuk", lanjut 'Umar. Kemudian petugas itu bertanya lagi: "Adakah tuan punya janji dengan 'Ali dan 'Abbas"? "Ya", jawab 'Umar: Kemudian 'Abbas berkata: "Wahai Amirul Mu'minin, berikan keputusan antara aku dan lelaki ini," 'Umar berkata: Demi Allah, yang dengan izinnya langit dan bumi tegak, apakah kalian tidak tahu bahwa Rasulullah saw bersabda: "Kami tidak mewariskan apa-apa. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah"? Kelompok orang itu berkata: "Nabi, telah berkata demikian". Lalu 'Umar menghadapi 'Ali dan 'Abbas seraya berkata: "Tidakkah kalian berdua tahu bahwa Nabi pernah berkata demikian?" "Nabi telah berkata demikian", jawab mereka (Al-Fath, 12/5-6).

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

1. Fathimah telah meminta kepada Abu Bakar untuk memberikan kepadanya warisan ayahnya.

2. Fathimah telah melakukan kesalahan dalam tuntutannya ini. Sebab permintaannya itu berlawanan dengan hadits Nabi yang jelas. "Kami tidak mewariskan apa-apa. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah".

Tak syak lagi, Fathimah mempunyai alasan mengenai tindakannya itu, karena ia mengetahui adanya ayat waris yang bersifat umum dan berlaku untuk semua ahli waris, termasuk para pewaris Nabi tanpa ada perkecualian. Juga karena dia tidak mengetahui hadits di atas yang men-takhshish keumuman ayat waris itu. Ahli waris para Nabi dikecualikan dari hukum waris. Sebagaimana pembunuh tidak dapat mewarisi (harta) orang yang dibunuhnya, karena adanya hadits: "Pembunuh tidak dapat mewarisi (orang yang dibunuhnya)".

3. Abu Bakar berada dalam kebenaran ketika ia menolak tuntutan Fathimah. Dan ia menegaskan bahwa ia tidak hendak menggasab harta Nabi untuk dirinya sendiri atau keluarganya. Bahkan ia mengharamkannya untuk putrinya, 'A'isyah istri Nabi. Ia jadikan harta itu untuk keperluan keluarga Muhammad, dan sisanya disedekahkan, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi. Dalam hal ini Abu Bakar berpegang pada sabda Nabi: "Kami tidak mewariskan apa-apa". (Fathul Bari, jilid 12, hal. 6). Juga berpegang pada hadits Nabi: "Janganlah kamu bagikan kepada ahli warisku dinar, jangan pula dirham. Harta yang kutinggalkan, setelah keperluan istri-istriku dan biaya petugasku, menjadi sedekah". (HR Bukhari) (Lihat Fathul Bari, 12, hal. 6). Dengan demikian, maka tidak benar mengecam tindakan Abu Bakar tersebut.

4. Harta yang ditinggalkan Nabi bukanlah warisan sebagaimana yang dipahami oleh Fathimah. Sebab kalau ia merupakan warisan, tentu tidak hanya untuk Fathimah, tapi juga untuk semua yang berhak mewarisinya, termasuk istri-istri Nabi, yang terkemuka diantaranya adalah 'A'isyah, yang Rasulullah meninggal dan dikubur di rumahnya. Urutan berikutnya adalah Hafsyah putri 'Umar ibn Khaththab: Hak waris yang ada pada Fathimah, sesungguhnya ada pula pada 'A'isyah, Hafsyah dan istri-istri Nabi yang lain. Demikian pula ada hak untuk 'Abbas, paman nabi saw. Mengapa Kaum Rafidhah hanya berbicara tentang hak waris Fathimah saja, dan melupakan ahli waris yang lainnya? Dan mengapa mereka mengecam Abu Bakar yang bertindak sesuai dengan dalil dan wasiat Nabi, penghulu para Rasul? Dalam hal ini Abu Bakar tidaklah menzalimi seorang pun. Seandainya harta yang ditinggalkan Nabi itu berstatus warisan, tentu istri-istri nabi akan segera memintanya. Dan diantara mereka, yang paling terdepan tentu adalah 'A'isyah dan Hafsyah. Akan tetapi diceritakan dalam sebuah hadits sahih bahwa 'A'isyah tidak sependapat dengan istri-istri Nabi yang lain untuk menuntut warisan mereka, sebab ia tahu bahwa hal itu tidak dibenarkan agama.

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari 'A'isyah bahwa sewaktu Rasul meninggal, istri-istri Nabi bermaksud. mengutus 'Utsman ibn Affan kepada Abu Bakar, untuk memintakan warisan mereka. Lalu 'A'isyah berkata: Tidakkah Rasulullah saw bersabda: "Kami tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah". (Fathul Bari, jilid 12, hal. 7).

5. Mengenai firman Allah, "Allah memerintahkan kamu berwasiat dalam urusan anak-anakmu" (QS, an-Nisa', 4:11), maka ia termasuk pernyataan umum yang ditakhshish. Maksudnya, ia berlaku umum untuk semua anak, tapi ditakhshish dalam hal anak-anak para nabi.

Ibn Hajar berkata: "Mengenai keumuman ayat 11 surah an-Nisa' itu, maka dapat dijawab dengan mengatakan bahwa ayat itu umum untuk semua orang yang meninggalkan harta yang dimilikinya. Nabi memang termasuk orang yang meninggalkan harta, tapi masuknya Nabi dalam khithab (subyek ayat) ini masih menerima takhshish (pengkhususan), sebagaimana halnya beliau mempunyai banyak kekhususan. Kecuali itu, sudah sangat diketahui bahwa Nabi tidak mewariskan harta benda. Dengan demikian jelaslah kekhususan Nabi dalam hal ini, yang berbeda dengan orang-orang lain.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa hikmah Nabi tidak mewariskan harta itu, ialah supaya tidak ada ahli waris yang mengharapkan kematian seseorang hanya karena ingin mendapatkan harta benda. Ada pula yang mengatakan, itu dikarenakan keadaan Nabi yang seperti ayah bagi ummatnya. Karena itu, warisan Nabi adalah untuk semua orang. Inilah pengertian sedekah secara umum. (Al-Fath, jilid 12, hal. 9).

6. Mengenai anggapan al-Musawi tentang adanya wasiat Nabi kepada 'Ali di permulaan dakwah Islam, yaitu ketika Allah menurunkan ayat Wa-andzir asyiratakal aqrabin, maka tanggapan mengenai hal ini sudah dikemukakan pada tanggapan Dialog 20.

7. Mengenai wasiat yang akan ditulis oleh Nabi diwaktu beliau sakit (yang kemudian meninggal dengan sakit itu), namun para sahabat saling bertengkar ketika itu, al-Musawi menganggap bahwa Nabi akan berwasiat tentang wilayah (kepemimpinan) 'Ali, tetapi para sahabat, saling bertengkar di sisi Nabi untuk menggagalkan Nabi menulis wasiat yang satu itu.

Kemudian al-Musawi menganggap Nabi telah berwasiat kepada mereka dengan tiga hal: Pertama mengangkat 'Ali sebagai wali atas mereka. Lalu al-Musawi menuduh Abu Bakar dan 'Umar mencegah para ahli hadits menceritakan wasiat yang pertama itu, dengan kekuasaan politik mereka. Al-Musawi juga menuduh para ahli hadits sebagai tidak bersifat amanah dan tidak adil dengan menyembunyikan wasiat itu, lantaran memenuhi kehendak penguasa politik. Dan mereka, demikian al-Musawi, berdalih dengan mengatakan bahwa mereka lupa akan wasiat itu.

Apa yang dikemukakan al-Musawi di atas tidak dapat disangsikan lagi kebathilannya. Buktinya adalah sebagai berikut:

1. Tuntutan mengenai kesahihan riwayat yang menerangkan bahwa Nabi berwasiat kepada sahabat agar mengangkat 'Ali sebagai pemimpin. Al-Musawi tidak menyebutkan satu kitab pun (yang menyebutkan riwayat itu) dari baik kitab-kitab hadits, baik kitab Sahih ataupun Musnad. Ini merupakan bukti yang memperkuat akan dustanya al-Musawi.

Kitab-kitab hadits hanya bersepakat mengenai dua wasiat saja. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dalam kitab Sahih mereka bahwa ibn 'Abbas berkata: Hari Kamis, wahai, apakah Hari Kamis itu ? (Pada hari itu) sakit Rasulullah menjadi-jadi, lalu beliau berkata: "Berilah aku (kertas dan tinta), agar kutuliskan untukmu apa yang akan menghindarkan kamu dari kesesatan selama-lamanya." Maka orang-orang saling bertengkar, padahal tidak sepatutnya bertengkar di hadapan Nabi. Sebagian mereka berkata: "Nabi mengigau"! Kemudian Nabi berkata: Pergilah, sungguh keadaanku jauh lebih baik dari apa yang kalian katakan". Dan Rasulullah saw berwasiat kepada mereka dengan tiga hal sebagai berikut: l). Keluarkan orang-orang musyrik dari jazirah Arab. 2). Teruskan kebiasaanku memberi hadiah kepada utusan. Dan perawi hadits ini berdiam mengenai wasiat yang ketiga, atau berkata Bukhari/Muslim: Dia lupa isi wasiat itu.

Jika kitab-kitab hadits semuanya sepakat atas, riwayat ini yang hanya berisikan dua wasiat, maka dari mana al-Musawi mengetahui isi wasiat yang ketiga? Jika anda merenungkan ini, pasti anda akan menemukan kedustaan al-Musawi yang nyata.

2. Perkataan al-Musawi membawa pada kesimpulan (pendapat) bahwa Nabi telah menyembunyikan sesuatu dari wahyu Allah ketika ia mengurungkan niatnya untuk menulis surat wasiatnya itu, lantaran adanya pertengkaran di hadapannya. Tak syak lagi, ini adalah kesimpulan yang bathil, sebab hal ini menodai kema'shuman Rasulullah saw.

3. Penulisan surat wasiat yang tidak jadi dilakukan oleh Nabi, menunjukkan bahwa apa yang hendak ditulis oleh beliau itu bukanlah sesuatu yang wajib (penting). Sebab kalau ia termasuk sesuatu yang harus disampaikan, tentu Nabi tidak akan meninggalkannya hanya karena orang orang bertengkar di hadapannya. Bahkan Allah tentu akan menyiksa orang yang menghalang-halangi penyampaian wasiat itu. Dan Rasulullah saw pasti menyampaikannya secara lisan sebagaimana pesannya kepada mereka untuk mengeluarkan orang-orang Musyrik dari jazirah Arab, dan lainnya.

Setelah gagal berwasiat itu, Rasulullah saw masih sempat hidup selama beberapa hari, tetapi ia tidak menuliskan wasiatnya. Dan para sahabat menyimpan dalam ingatan mereka beberapa hal yang diucapkan Nabi secara lisan. Maka sangat mungkin semua yang disampaikan Nabi secara lisan itu adalah apa yang ingin beliau tulis (Al-Fath, 8/134).

4. Pernyataan al-Musawi bahwa para penguasa --maksudnya Abu 'Bakar dan 'Umar-- telah melarang para ahli hadits untuk meriwayatkan wasiat Nabi yang pertama (mengangkat 'Ali sebagai pemimpin), adalah dusta belaka! ia merupakan tuduhan yang dibuat-buat yang lahir dari keyakinan kaum Rafidhah yang buruk mengenai para sahabat, khususnya Abu Bakar dan, 'Umar. Kaum Rafidhah telah mengkafirkan dan menghina para sahabat nabi. Maka tidak perlu heran kalau al-Musawi menuduh kedua Khalifah Nabi itu telah melarang para ahli hadits meriwayatkan apa yang mereka hafal dari Rasulullah dan memaksa mereka mempermainkan hadits Nabi. Padahal Allah dan Rasul sendiri menyaksikan kesucian, keadilan, ketulusan dan sifat amanah mereka. Dan tidak ada kesaksian yang lebih besar daripada kesaksian Allah dan Rasul-Nya.

Hal lain yang memperkuat bukti kedustaan al-Musawi adalah bahwa tuduhannya itu tidak ada dasarnya sama sekali dalam kitab yang muktabar atau dalam riwayat yang sahih.

Di sini kami ingin bertanya kepada kaum Rafidhah --termasuk al-Musawi: Jika apa yang anda tuduhkan itu benar, maka kenapa 'Ali bungkam tentang wasiat yang akan mengangkat kedudukannya dan yang akan memberinya legitimasi keagamaan dan hak untuk menuntut khilafah itu? Apakah menurut pendapat anda 'Ali diam itu karena takut atau karena ia pengecut di depan pemerintahan Abu Bakar dan 'Umar? Atau karena munafik? Sungguh, anda sekalian, wahai kaum Rafidhah, tidak akan berpendapat demikian,mengenai 'Ali. Dan, kaum Sunni juga sependapat dengan anda dalam hal ini. Jika kita semua sepakat pada pendapat ini, maka tidak ada penafsiran lain tentang diamnya 'Ali, kecuali karena ia memang yakin bahwa Nabi tidak pernah berwasiat kepadanya tentang khilafah dan imarah; sebagaimana yang ia katakan pada waktu perang Jamal: "Hai manusia, sesungguhnya Nabi tidak pernah berwasiat kepada kita sedikit pun tentang dunia ini" (HR Imam, Ahmad dan Baihaqi dalam ad-Dala'il).

Kalau Imam 'Ali memang mengetahui adanya wasiat ini, yang ditentang oleh Abu Bakar dan 'Umar, maka ia cukup mengucapkan satu kata saja untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari pelbagai pihak, karena banyaknya faktor pendorong untuk membantunya ketika itu, Semua ini semakin menetapkan kedustaan al-Musawi.

5. Al-Musawi menuduh Bukhari dan Muslim menyembunyikan wasiat (tentang imamah 'Ali) dengan dalih lupa. Demikian pula tuduhannya kepada para--penyusun kitab-kitab Sunan. dan Musnad:

Untuk menjawab tuduhan ini -semoga Allah memberi taufik- kami ingin menyatakan bahwa tuduhan al-Musawi terhadap pemuka-pemuka ahli hadits, tidak keluar dari dua kemungkinan berikut:

  1. Tuduhan al-Musawi dikemukakan tanpa pertimbangan dan penelitian tentang riwayat dan syarat-syaratnya, sebagaimana yang berlaku dalam kitab-kitab hadits. Jika demikian, halnya maka tak, dapat diragukan lagi bathilnya tuduhan itu. Coba anda renungkan kenyataan ini, pasti anda temukan kebathilan ini. Dan akan semakin nyata kebathilan ini manakala anda tahu bahwa dalil-dalil yang ada justru menentang tuduhan itu, seperti akan: kami kemukkakan sebentar lagi, insya Allah.
  2. Tuduhan al-Musawi dikemukakan setelah melakukan penelitian dalam kitab-kitab hadits, khususnya mengenai riwayat ini. Jika demikian, maka tuduhan al-Musawi terhadap Ahlus Sunnah adalah dusta belaka dan merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Ia dusta sebab ia telah menyembunyikan keterangan dan penjelasan yang ada mengenai riwayat terkait, karena didorong rasa dengki, iri dan fanatik buta.

Jika kita merujuk pada kitab-kitab hadits dan syarat-syarat periwayatannya, akan semakin nyata benarnya apa yang kami katakan tentang al-Musawi itu.

Bukhari berkata: Bercerita kepadaku Quthaibah dari Sufyan ibn 'Uyainah dari Sulaiman al-Ahwal dari Sa'id ibis Jubair ia berkata: ibn 'Abbas berkata: Hari Kamis, wahai, apakah hari Kamis itu? Hari itu, sakit Rasulullah semakin menjadi-jadi, lalu, beliau berkata: "Berilah aku (kertas dan tinta), agar kutuliskan untukmu apa yang akan menghindarkan kamu dari kesesatan selama-lamanya." Namun orang-orang di sekitarnya saling bertengkar, padahal tidak sepatutnya bertengkar di hadapan Nabi. Sebagian dari mereka berkata: "Nabi mengigau". Mereka terus bertengkar, sehingga Nabi pun berkata: "Pergilah kalian, sungguh keadaanku jauh lebih baik dari apa yang kalian katakan." Kemudian Rasulullah saw berwasiat kepada mereka (secara lisan) dengan tiga hal: 1. Agar mereka mengeluarkan orang-orang musyrik dari jazirah Arab. 2. Agar mereka meneruskan kebiasaan beliau memberi hadiah kepada utusan asing. Dan dia (perawi hadits ini, pent.) berdiam diri mengenai wasiat yang ketiga, atau ia berkata: "Aku lupa isi wasiat yang ketiga itu". Imam Muslim juga meriwayatkan yang seperti itu. Demikian juga penulis-penulis kitab hadits yang lain.

Al-Musawi menuduh ulama-ulama Ahlus Sunnah menyembunyikan isi wasiat yang ketiga dengan berdasar adanya kata-kata "…Dan dia berdiam diri mengenai wasiat yang ketiga, atau dia berkata: "Aku lupa isi wasiat itu." Dia menisbatkan sikap berdiam diri atau lupa itu kepada Imam Bukhari, Muslim dan penulis kitab-kitab Sunan, karena bodohnya, atau pura-pura bodoh, dan didorong oleh rasa dengki dan fanatik serta ingin mengecam para ahli hadits tersebut, supaya sifat keadilan mereka menjadi gugur. Dengan begitu, akan mudahlah baginya untuk menolak semua hadits yang mereka riwayatkan. Padahal sesungguhnya, pertimbangan yang digunakan al-Musawi untuk mengecam para perawi hadits itu, justru berfaedah sebaliknya, yaitu semakin memantapkan sifat adil, kedhabitan dan sifat amanah mereka. Jadi, sifat adil, kedhabitan dan amanah mereka itulah yang menyebabkan mereka tidak bersedia mengemukakan perkataan Nabi yang tidak mereka ketahui. itu. Demikian pula rasa takut mereka untuk terjerumus pada tindakan dusta atas nama Nabi, itulah yang menyebabkan mereka berdiam diri, tidak menuturkan wasiat Nabi yang ketiga itu. Sebab mereka tidak ingat akan isi wasiat itu. Tetapi al-Musawi memandang hal itu dengan mata sebelah, dengan pandangan orang yang membenci, sehingga tidak ada yang tampak kecuali keburukan semata. Dalam hal ini, watak al-Musawi persis seperti kalajengking, yang tidak melihat kecuali yang jelek-jelek. Tidakkah anda lihat, bagaimana al-Musawi mengubah sifat amanah menjadi khianat? Coba anda renungkan, pasti anda melihatnya.

Kemudian al-Musawi mengecam para perawi tersebut atas kelupaan mereka. Ia menyalahkan mereka, dengan melupakan bahwa sifat lupa itu memang merupakan tabiat manusia, sehingga dikatakan:

Tidaklah disebut manusia, kecuali karena sifat lupanya, dan tidaklah dinamai hati kecuali karena ia tak pasti.

Allah sendiri tidak akan menyiksa manusia karena lupa. Kita sudah pada maklum tentang doa kita "Ya, Allah, jangan Engkau siksa kami sekiranya kami lupa atau keliru…," sementara al-Musawi memandang kelupaan mereka sebagai kesengajaan, seperti dikatakannya: "…Mereka menganggap bahwa diri mereka lupa tentang wasiat yang ketiga itu".

Adapun jawaban atas tuduhan ini, ialah bahwa adanya kesengajaan atau tidak, itu adalah persoalan isi hati yang tak bisa diketahui oleh seorang pun. Bagaimana al-Musawi bisa mengetahuinya sehingga memvonisnya demikian? Adakah dia telah membelah hati mereka?

Selanjutnya, kami akan mengemukakan keterangan dalam Fathul Bari yang mengomentari riwayat ini, yang telah dikecam oleh al-Musawi, agar jelas bagi kita kezaliman al-Musawi terhadap ulama. Ulama Ahlus Sunnah. Juga agar jelas bagi kita sifat amanah mereka dalam mengutip suatu riwayat. Imam Bukhari, Muslim dan Ashab as-Sunan tidak mendengar wasiat yang ketiga itu, tidak pula berdiam diri atasnya. Mereka hanya mendengar wasiat yang dua itu, lalu mereka kemukakan sebagaimana yang mereka dengar.

Ibn Hajar berkata: Mengenai perkataan "Dan dia berdiam diri mengenai wasiat yang ketiga, atau katanya: Aku lupa," kemungkinan orang yang berkata demikian adalah Said ibn Jubair. Kemudian aku mendapat informasi dari al-Isma'illi bahwa orang yang mengucapkan perkataan itu adalah Ibn 'Juyainah. Di dalam Musnad al-Humaidi, dan di dalam al-Mustakhraj, Abu Nu'aim melalui salurannya, mengutip perkataan Sufyan sebagai berikut: Sulaiman (ibn Abi Muslim) berkata: "Aku tidak tahu, apakah Sa'id ibn Jubair telah menyebut wasiat yang ketiga itu, tapi aku lupa, atau ia berdiam (tidak menuturkan) wasiat yang ketiga itu." Ini adalah pendapat yang paling kuat. (Al-Fathul Bari, jilid 8, hal. 135).

Ini adalah keterangan yang sangat jelas bahwa orang yang mengucapkan kata-kata: "Dan dia berdiam diri mengenai wasiat yang ketiga, atau katanya: Aku lupa", adalah Sa'id ibn Jubair, dan orang yang berdiam diri adalah 'Abdullah ibn 'Abbas. Sa'id ragu-ragu apakah memang Ibn 'Abbas berdiam diri (tidak menuturkan wasiat ketiga). Maka Sa'id berkata: "Aku lupa". Ini merupakan bukti sifat amanah Sa'id, bukan sifat khianatnya, seperti yang dituduhkan al-Musawi. Kalaupun tuduhan al-Musawi itu dipandang benar, lalu apa dosa Bukhari? Dan apa hubungannya dengin perkataan itu? Dan kalau tuduhan itu memang bisa dikenakan pada Sa'id ibn Jubair, maka hal ini menunjukkan sifat amanah Bukhari. Sebab ia meriwayatkan perkataan Sa'id sebagaimana yang ia dengar. Tidakkah anda lihat kezaliman al-Musawi dan fanatismenya?

Jika riwayat-riwayat yang sahih itu telah sepakat mengenai tidak disebutkannya wasiat yang ketiga itu atau terlupakannya, maka dari mana dari bagaimana al-Musawi mengetahui --setelah diamnya Ibn 'Abbas atau terlupanya Sa'id ibn Jubair-- bahwa wasiat ketiga itu tentang khilafah untuk 'Ali ibn Abi Thalib? Padahal tak seorang pun dari para ulama hadits yang berpendapat seperti itu. Bahkan mereka menjelaskan kebalikannya.

Ad-Daudi berkata: Wasiat yang ketiga ialah wasiat berkenaan dengan al-Qur'an. Ibn at-Tin memastikan hal ini. Al-Muhlab berkata: Bahkan ia adalah pesan Nabi agar mempersiapkan pasukan Usamah. Ibn Bathal memperkuat pendapat ini dengan mengemukakan bahwa para sahabat ketika berbeda pendapat dengan Abu Bakar dalam pelaksanaan (pengiriman) pasukan Usamah, Abu Bakar berkata kepada mereka: Nabi berpesan untuk melakukan itu ketika beliau (akan) meninggal. Menurut 'Iyadh, wasiat ketiga itu mungkin perkataan Nabi: "Jangan jadikan kuburanku sebagai tempat penyembahan". Pesan Nabi ini tersebut dalam kitab al-Muwatha', bersamaan dengan perintah Nabi untuk mengeluarkan kaum musyrikin dari jazirah Arab. Dan mungkin pula berupa pesan yang terdapat dalam hadits Anas, yaitu: Jagalah shalat dan hamba sahaya. (Fathul Bari, jilid VIII, hal. 135).

Adapun anggapan al-Musawi bahwa Rasulullah saw meninggal di atas dada 'Ali, itu dusta belaka. Anggapan ini tidak didukung oleh kitab yang muktabar. Bahkan ia bertentangan dengan hadits-hadits sahih yang telah sepakat bahwa Rasulullah saw meninggal di atas dada 'A'isyah (antara rongga leher dan dadanya). Penjelasan yang terperinci mengenai hal ini sudah kami kemukakan terdahulu.

Daftar Isi | al-Firdaus.com


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M