Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by


Sanggahan terhadap Dialog 70

1. Di mana hadits tentang wasiat Nabi itu, dan apakah ia tsabat, sehingga perlu ditentang (ditanggapi)? Barangsiapa memperhatikan sungguh-sungguh hadits-hadits yang dikemukakan al-Musawi dalam dialog ini, maka ia akan menemukan bahwa hadits-hadits itu adalah hadits-hadits yang telah dikemukakannya berulang-ulang dalam dialog-dialog sebelumnya. Kami telah mengemukakan Pandangan ulama hadits mengenai hadits-hadits tersebut dan tidak perlu mengulangnya. Barangsiapa ingin mengetahuinya, silahkan periksa kembali tanggapan kami pada dialog-dialog sebelumnya.

Pendeknya, hadits-hadits tersebut adalah rusak (halikah); tidak lebih dari hadits dha'if yang nyata dha'ifnya, atau hadits maudhu' yang nyata-nyata kedustaannya. Adapun beberapa hadits yang sahih darinya, maka tidaklah ada sesuatu didalamnya yang menunjuk pada pengertian yang dikemukakan al-Musawi. Hadits-hadits itu hanya menunjuk pada keutamaan-keutamaan 'Ali, tak lebih dari itu. Kaum Sunni memiliki hadits yang lebih kuat dari itu mengenai keutamaan seorang sahabat yang agung, juga mengenai keutamaan Ahlul Bait dan al-'Ithrah at-Thahiruh.

2. Mengenai perkataan al-Musawi "Adapun orang-orang yang menentang wasiat nabi dari para penganut madzhab yang empat, sesungguhnya mereka beralasan karena wasiat itu tidak sejalan dengan kenyataan adanya pemerintah ketiga Khalifah sebelum 'Ali". Al-Musawi ingin menjelaskan dengan perkataannya itu, sebab apa yang-mendorong kaum Sunni menolak hadits-hadits wasiat. Ia menjelaskan wasiat itu dengan mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu beranggapan bahwa hadits-hadits wasiat tidak mungkin dapat sejalan dengan kenyataan adanya pemerintahan Khalifah yang tiga".

Jawaban atas pemikiran di atas adalah sebagai berikut: "Kaum Sunni berkeyakinan bahwa hadits-hadits wasiat itu sangatlah bathil, dan merupakan kedustaan kaum Rafidhah. Tak satu pun hadits-hadits itu yang sahih, sebagaimana dikemukakan terdahulu. Karena itu, mereka tidak bersedia mengambilnya. Seandainya ada sebagian yang sahih, tentu mereka tidak akan menolaknya, dan tidak akan menganggapnya berlawanan dengan pemerintahan Abu Bakar, 'Umar dan'Utsman.

Kaum Sunni tidak menolak nash-nash karena fanatik terhadap perawinya, sebagaimana kaum Rafidhah. Kaum Sunni hanya berpegang pada al-Qur'an dan hadits-hadits yang sahih. Mereka membuang jauh-jauh pemikiran seseorang manakala bertentangan dengan al-Qur'an yang menjadi pegangan utama mereka. Tidak ada dalil yang lebih jitu atas kedustaan hadits-hadits tersebut daripada penolakan para sahabat terhadapnya. Juga tidak adanya penjelasan dari 'Ali mengenai hadits-hadits itu, baik sebelum maupun setelah ia menjadi Khalifah.

Al-Qurthubi berkata: Kaum Syi'ah telah membuat hadits-hadits palsu yang menerangkan bahwa Nabi berwasiat kepada 'Ali mengenai khilafah. Lalu sekelompok orang dari sahabat menolak mereka. Demikian pula orang-orang setelahnya. Karena itu 'A'isyah tidak berdalil dengannya. Demikian pula sikap 'Ali. Dia tak pernah menyatakan diri mendapat wasiat itu, baik sebelum maupun setelah ia menjadi Khalifah. Demikian pula; tak seorang pun dari para sahabat yang menyebutkannya pada hari as-Saqifah. Kaum Syi'ah sesungguhnya telah merendahkan 'Ali dalam upaya mereka untuk mengagungkannya. Sebab mereka menisbatkan kepadanya --yang dikenal sangat pemberani dan berpegang teguh pada agama-- sikap menjilat, taqiyah dan berpaling dari menuntut haknya, padahal ia mampu menuntutnya. (Fathul Bari, jilid 5, hal. 361-362).

Yang pasti justru Nabi berwasiat mengenai beberapa hal ketika beliau sakit kurang lebih 10 hari yang membawa kepada wafatnya itu. Para sahabat menerima wasiat Nabi itu, dan menyampaikannya kepada kita. Tetapi dalam wasiat itu tidak ada istikhlaf (pengangkatan menjadi pengganti Nabi) untuk seseorang, sebagaimana dijelaskan oleh 'A'isyah dan sahabat-sahabat Nabi, termasuk 'Ali ibn Abi Thalib.

Sementara itu Imam Ahmad dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn 'Abbas sebuah hadits dimana didalamnya terdapat perintah Nabi kepada Abu Bakar untuk menjadi imam shalat di waktu beliau sakit. Di akhir hadits ini, Anas berkata: "Rasulullah saw. meninggal tanpa meninggalkan wasiat. Diceritakan dari 'Umar: "Rasulullah saw. meninggal dan beliau tidak menunjuk seorang pengganti". Di dalam kitab ad-Dala'il, Imam Ahmad dan al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Ali bahwa ketika terjadi perang Jamal, 'Ali berkata: "Hai manusia! Sesungguhnya Rasulullah tidak berpesan sedikit pun kepada kita mengenai imarah ini." Dan dalam kitab al-Maghazi, karya Ibn Ishak, diriwayatkan dari Ubaidillah ibn Utbah ia berkata: "Rasulullah saw tidak meninggalkan pesan, ketika beliau wafat, kecuali tiga hal: Masing-masing dari kaum Dariyin, Rahawiyin dan Asy'ariyin, mendapat 100 wasaq dari kurma Khaibar. Di Jazirah Arab, jangan ada lagi dua agama. Dan teruskan ekspedisi 'Usamah. Imam Muslim meriwayatkan hadits Ibn 'Abbas: "Rasulullah saw berpesan dengan tiga hal: Menghadiahi utusan asing sebagaimana Nabi menghadiahinya. Dalam hadits Abi Aufa diterangkan: Nabi berpesan dengan Kitab Allah. Dalam hadits Anas sebagaimana diriwayatkan oleh an-Nasa'i, Ahmad dan Ibn Sa'ad (lafazh hadits dari Ibn Sa'ad) diceritakan sebagai berikut: "Pada pokoknya wasiat Nabi ketika beliau hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir adalah tentang shalat dan hamba sahaya". (Lihat Fathul Bari, jilid 5, hal. 362).

Al-Musawi menolak hadits 'Abdullah ibn Abi Aufa yang diriwayatkan oleh Bukhari, lantaran fanatik dan mengikuti hawa nafsu. Juga karena semata-mata hadits itu berlawanan dengan pendapatnya lebih dari itu, ia menuduh sahabat Nabi tersebut dengan tuduhan nifaq dan menjilat penguasa. Al-Musawi berkata: "Hadits ini tidak dapat diterima bagi kita, sebab ia termasuk produk kepentingan politik dan kekuasaan".

Kemudian al-Musawi melakukan kontradiksi dengan pendapatnya sendiri dan menetapkan kesahihan riwayat tersebut ketika,ia berkata: "Adapun hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Abi Aufa bahwa Nabi berpesan dengan Kitab Allah, maka hal itu benar adanya, hanya saja hadits itu terpotong". Coba anda renungkan pernyataan ini, pasti anda temukan kontradiksi pemikiran al-Musawi ini secara nyata!

Al-Musawi telah berdalil mengenai kesahihan wasiat, berdasarkan akal dan perasaan (at-wijdan). Jawaban kami: Masalah wasiat adalah hukum syar'iy, yang hanya bisa ditetapkan dengan nash yang sahih, yang dilalahnya qath'iy. Akal dan perasaan sedikit pun tidak sah digunakan sebagai dalil untuk menetapkan hukum.

Daftar Isi | al-Firdaus.com


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M